Minggu, 03 April 2016

makalah tentang ijma



IJMA
Makalah ini disusun untuk  memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu : M. Hanif, M.Hum.








Di Susun Oleh :
1.      Aisyah                               11114021
2.      Siti Nurjanah                      11114256
3.      Muslikhatun                       11114341

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
 2016


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat  Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Ijma dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh dari kata kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan kepada Rasulullah S.A.W.
Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang terbaik. Tetapi kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami yang akan datang.           
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat dan masukan.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.


                                                                              Salatiga, 29 Maret 2016











DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar................................................................................................. 1
Halaman Daftar Isi........................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah...................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah................................................................................ 4
C.     Tujuan.................................................................................................. 4     
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijma’ ...............................................................................  5
B.     Syarat-syarat Ijma’............................................................................ 6
C.     Macam-macam Ijma’......................................................................... 7
D.    Kehujjahan Ijma’dan Bukti kekuatan ijma sebagai hujjah ...............  8
E.     Landasan Ijma’................................................................................. 10
F.      Kemungkinan terjadinya Ijma’......................................................... 10
G.    Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatan Ijma’................ 11
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................... 13
B.     Daftar Pustaka................................................................................ 14






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat manusia harus mempunyai pedoman sebagai landasan hidup,  yaitu Al-Quran dan Al-Hadits yang diturunkan oleh Allah dan disampaikan oleh Rosulullah untuk umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula masalah-masalah ataupun persoalan didalam kehidupan sosial. Dari masalah tersebut yang belum ada nasnya kemudianlah dimasukkannya hukum-hukum yang disepakati oleh para sahabat Nabi (di ijma) sebagai salah satu sumber syariat islam. Karena syariat adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan Allah maka kita sebagai umat manusia harus mengimani, mengetahui dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui hal tersebut maka kita perlu mengetahui beberapa hal tentang ijma sebagai penetapan hukum dasar. Maka dari itu makalah ini akan membahas tentang ijma.








B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian ijma’?
2.      Apakah syarat-syarat ijma’?
3.      Apakah macam-macam ijma’?
4.      Apakah kehujjah ijma’ dan bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah?
5.      Apakah landasan ijma’?
6.      Kapan terjadinya ijma’?
7.      Bagaimana Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatan Ijma’?

C.    Tujuan
1.      Dapat mengetahui tentang pengertiaj ijma’
2.      Dapat mengetahui syarat-syarat ijma’
3.      Dapat mengetahui macam-macam ijma’
4.      Dapat mengetahui kehujjahan ijma’ dan bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah
5.      Dapat mengetahui landasan ijma’
6.      Dapat mengetahui terjadinya ijma’
7.      Dapat mengetahui Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatan Ijma’.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijma’
Secara bahasa, Ijma’ mengandung dua pengertian yaitu keinginan kuat (tekad atau keputusan yang bulat), dan Kesepakatan atau konsensus dari sejumlah orang terhadap suatu persoalan.
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur
Karena itu bulatkanlah keputusanmu (Qs Yunus :71)[1]
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan al-Qur'an dan hadis dalam suatu perkara yang terjadi. keputusan yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.[2]
Pengertian ijma’ secara terminologi menurut Ushul Fiqh, yakni:
Bahwa kesepakatan itu harus dilakukan oleh seluruh mujtahid; bukan kesepakatan sebagian; atau bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid, seperti kesepakatan yang dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid.
Yang dimaksud dangan para mujtahid adalah mereka yang hidup pada saat terselenggaranya ijma’, bukan mereka yang telah tiada atau yang belum lahir. Persoalan yang menjadi objek ijma’ haruslah persoalan agama, bukan masalah-masalah keduniawian atau persoalan-persoalan logika. [3]
B.     Syarat –syarat Ijma’
Menurut Jumhur syarat Ijma yaitu
1.      Syarat pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah kesamaan pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan, perkataan atau perbuatan. Meyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi bagi terlaksanya Ijma’
a.       Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’, jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sebagai hujjah
b.      Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja.
c.       Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat dilihat dalam perbuatan.
d.      Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma, karena ijmaitu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.[4]
2.      Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi seorang untuk menjadi mujtahid yakni:
a.       Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan yang telah menjadi obyek Ijma’ sebelumnya
b.      Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh
c.       Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab)
3.      Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu
4.      Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw
5.      Ijma’ itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, seperti wajib, haram, sunnat dan seterusnya.[5]
C.    Macam-macam Ijma
1.      Ijmak Sharih atau ijma Qouli yaitu apabila segenap mujtahid berhimpun pada satu kesepakatan pendapat dan masing-masing mennyatakan dengan pernyataan lisan; “ini halal” atau “ini haram”. Ijma’ seperti ini menjadi hujjah tanpa ada perdebatan.
2.      Ijma Sukuti adalah apabila suatu pendapat menjadi mashyur di sebagian kelompok mujtahid; sedang sebagian lain diam tanpa mengingkarinya.[6]
Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma’ Sukuti sebagai hujjah mempunyai kekuatan mengikat untuk seluruh umat.
a.       Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma’ Sukuti itu bukan ijma’ yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
b.      Abu Ali ibn Hurairah (ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa pendapat yang dikemukakan dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau penetapan putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang mennyanggahnya, maka diammya ulama itu tidak dapat disebut ijma’.[7]
c.       Dari pembahasan al-Ghazzali muncul persoalan bahwa, jika sebagian sahabat berfatwa, sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya), maka hal itu tidak disebut ijma(sukuti). Dan tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan ucapan (fatwa). Menurut sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang mujtahid (sahabat) telah tersiar luas, sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam mereka sama seperti telah mengeluarkan fatwa yang sama, sehingga kejadian seperti itu disebut juga dengan ijma(ijma‘ sukuti). Menurut sekelompok ulama lain, hal itu hanya menjadi hujah (sumber hukum) saja, tetapi tidak dapat dikatakan ijma. Menurut sekelompok ulama lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan bukan ijmatetapi hanya sebagai dalil yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum[8]
D.    Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli ushul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga dalil syara’ setelah Al-Quran dan Sunnah.
Menurut Ibrahim ibn Siyar al-Nazam (tokoh Mu’tazilah), ulama Khawarij dan ulama Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul dan membahas suatu kasus, dan menyepakati bersama. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda.[9]
Bukti kekuatan ijma sebagai hujjah antara lain
a.       Sebagaimana Allah Swt. Dalam Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah, Rosulnya dan Ulil Amri, seperti
Firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. (Qs. An-Nisa : 59)
Lafal Al-Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ibnu Abbas menafsirkan kata Ulil Amri dengan ulama, menafsirkan dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan hukum syarak, yakni para mujtahid, maka wajib dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-Quran.
Menurut Ahmad al-Sawi, ayat di atas secara menyeluruh mengisyaratkan kepada dalil-dalil fiqh yang empat, yakni Alquran, Hadis, ijmadan qiyas. Taat kepada Allah, yakni Alquran, taat kepada Rasul, yaitu Hadis, dan taat kepada uli al-amr adalah ijma(ketetapan hukum yang sudah menjadi kesepakatan)[10]
b.      Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya
c.       Ijmak atas hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak di dukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nashdan makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara yang kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilandalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan syara.[11]

E.     Landasan Ijma’
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa dalil yang qath’i, yaitu Al-Quran, Sunnah serta bisa juga bisa berdasarkan dalil Zhanni seperti hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma’ ini, menurut mereka, adalah hadits ahad. Demikian juga kesepakatan para sahabat menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti (khalifah) Nabi saw. Dengan mengqiyaskannya kepada Nabi saw.
Ulama Zhahiriyyah Syi’ah dan Ibn Jarir al Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ dalil yang qath’i yaitu suatu dalil yang qath’i tidak mungkin didasarkan kepada dalil yang zhanni seperti hadits ahad dan qiyas, karena hasil dari yang zhanni akan tetap zhanni. Disamping itu, seorang mujtahi boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas. Apabila sandaran ijma’ tersebut adalah qiyas, maka seorang mujtahid tidak boleh mengingkarinya.[12]
F.     Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijmamungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya, pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma. Demikian pula haramnya lemak babi, berhaknya kakek atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-lain hukum furusebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fikih.[13]
Abdul Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya ijma’ terutama dalam masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma’ itu ditangani oleh suatu negara dengan bekerja sama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama islam. Setiap negara menetapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai derajat itu sehingga dengan demikian semua mujtahid didunia ini dapat diketahui.
Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi, dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf sangat mungkin terjadi, karena meskipun mujtahid itu bertebaran diseluruh permukaan bumi dan mudah mempertemukan mereka dalam suatu masa tertantu untuk membicarakan masalah hukum atau setidaknya untuk menghimpun pendapat mereka. Bila pendapat mereka tentang masalah suatu hukum telah terkumpul dan mempunyai pendapat sama, itulah yang disebut ijma’.[14]
Menurut golongan mu’tazilah dan sebagian pengikut Syi’bah mennyatakan bahwa ijma’ itu merupakan kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa, maka hal tersebut tidak mungkin terjadi. Sebab, para mujtahid itu berada dan tersebar di berbagai kawasan atau daerah yangjaraknya berjauhan serta tidak mudah bagi mereka untuk berkumpul pada satu tempat untuk mennyatakn kesepakatan.[15]
G.    Perkembangan Pendapat Ulama tentangn Pembatasan Ijma’
1.      Keikutsertaan kalangan awam dalam Ijma’
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma’, jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan unruk melaangsungkan suatu ijma’. Karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya.
Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menentukan dalam penetapan ijma’ karena pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari kesalahan.


2.      Ijma’ sesudah masa Sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai hal ini, apakah ijma’ itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatan bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi ketentuannya.
3.      Kesepakatan mayoritas
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sahnya ijma’ bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
4.      Kesepakatan ulama madinah
Ulama madinah telah sepakat tentang suatu hukum atau suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda.
5.      Kesepakatan Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama syi’ah adalah keturunan nabi Muhammad melalui putrinya. Di kalangan ulama syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas suatu hukum di anggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain.
6.      Kesepakatan Khulafaur rasyidin
Empat orang sahabat Nabi yng kemudian bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, mereka dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat islam.[16]



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ijma’ yaitu kesepakatan yang harus dilakukan oleh seluruh mujtahid, bukan kesepakatan sebagian, atau bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid, seperti kesepakatan yang dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid. Dan dalam melakukan suatu ijma’ harus diperhatikan dalam beberapa hal seperti syarat-syarat ijma’, mengetahui macam-macam ijma’, kehujjahan ijma’, landasan ijma’ serta mengetahui syarat-syarat sebagai seorang mujtahid Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat.






















DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih Cet 1. Jakarta: Logos.
Jafar, M. 2014. Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. Volume XIII, No. 2.
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Islam. Jakarta:       Pustaka Amani.
Nur, Iffatin. 2013. Terminologi Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Yusnani. 2012. Sistem Bisnis Franchise Dalam Pandangan Islam. Vol 7 No.2.













[1] Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 41
[2]Yusnani, Sistem Bisnis Franchise Dalam Pandangan, (Vol 7 No.2, 2012), hlm. 113-120.

[3]Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 41-43.
[4]M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 96.
[5]Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 44.

[6]Ibid., hlm. 45.
[7]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 136.
[8]M Jafar, (Volume XIII, No. 2, Februari  2014), hlm. 99.
[9]Nasrun Haoen, Ushul Fiqih Cet 1, ( Jakarta: Logos, 1996), hlm.54.
[10]M. Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 97.
[11]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.57-58
[12]Ibid., hlm. 60.
[13]M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 102.
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 117.
[15]Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 53.
[16] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 121-127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan sarannya guys..
biar bisa menjadikan my blog ini lebih baik..
thank you