IJMA
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqih
Dosen pengampu : M. Hanif, M.Hum.
Di Susun Oleh :
1.
Aisyah 11114021
2.
Siti Nurjanah 11114256
3.
Muslikhatun 11114341
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kami penjatkan ke hadirat Allah S.W.T.
atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul Ijma dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh dari kata
kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan kepada Rasulullah S.A.W.
Dalam menyelesaian
makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang terbaik. Tetapi kami menyadari
bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah kami yang akan datang.
Dengan terselesaikannya
makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat dan
masukan.
Semoga apa yang kami
tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya, serta
mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.
Salatiga,
29 Maret 2016
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar.................................................................................................
1
Halaman Daftar Isi...........................................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................
3
B. Rumusan Masalah................................................................................
4
C. Tujuan..................................................................................................
4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’ ............................................................................... 5
B.
Syarat-syarat Ijma’............................................................................
6
C.
Macam-macam Ijma’.........................................................................
7
D.
Kehujjahan Ijma’dan Bukti kekuatan ijma sebagai
hujjah ............... 8
E.
Landasan Ijma’.................................................................................
10
F.
Kemungkinan terjadinya Ijma’......................................................... 10
G.
Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatan Ijma’................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................
13
B. Daftar Pustaka................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk mencapai
kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat manusia harus
mempunyai pedoman sebagai landasan hidup, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits yang diturunkan
oleh Allah dan disampaikan oleh Rosulullah untuk umat manusia. Seiring dengan
perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula masalah-masalah
ataupun persoalan didalam kehidupan sosial. Dari masalah tersebut yang belum
ada nasnya kemudianlah dimasukkannya hukum-hukum yang disepakati oleh para
sahabat Nabi (di ijma) sebagai salah satu sumber syariat islam. Karena syariat
adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan Allah maka kita sebagai
umat manusia harus mengimani, mengetahui dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk mengetahui hal tersebut maka kita perlu mengetahui beberapa
hal tentang ijma sebagai penetapan hukum dasar. Maka dari itu makalah ini akan
membahas tentang ijma.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian ijma’?
2.
Apakah
syarat-syarat ijma’?
3.
Apakah
macam-macam ijma’?
4.
Apakah
kehujjah ijma’ dan bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah?
5.
Apakah
landasan ijma’?
6.
Kapan
terjadinya ijma’?
7.
Bagaimana
Perkembangan Pendapat Ulama tentang
Pembatan Ijma’?
C.
Tujuan
1.
Dapat
mengetahui tentang pengertiaj ijma’
2.
Dapat
mengetahui syarat-syarat ijma’
3.
Dapat
mengetahui macam-macam ijma’
4.
Dapat
mengetahui kehujjahan ijma’ dan bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah
5.
Dapat
mengetahui landasan ijma’
6.
Dapat
mengetahui terjadinya ijma’
7.
Dapat
mengetahui Perkembangan Pendapat Ulama
tentang Pembatan Ijma’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
Secara
bahasa, Ijma’ mengandung dua pengertian yaitu keinginan kuat (tekad atau
keputusan yang bulat), dan Kesepakatan atau konsensus dari sejumlah orang
terhadap suatu persoalan.
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uà°ur
Karena itu bulatkanlah keputusanmu (Qs Yunus :71)[1]
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan al-Qur'an dan hadis dalam suatu
perkara yang terjadi. keputusan yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.[2]
Pengertian
ijma’ secara terminologi menurut Ushul Fiqh, yakni:
Bahwa kesepakatan itu harus
dilakukan oleh seluruh mujtahid; bukan kesepakatan sebagian; atau bukan
kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid, seperti kesepakatan yang
dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang belum memenuhi syarat sebagai
mujtahid.
Yang dimaksud dangan para mujtahid
adalah mereka yang hidup pada saat terselenggaranya ijma’, bukan mereka yang
telah tiada atau yang belum lahir. Persoalan yang menjadi objek ijma’ haruslah
persoalan agama, bukan masalah-masalah keduniawian atau persoalan-persoalan
logika. [3]
B.
Syarat –syarat Ijma’
Menurut
Jumhur syarat Ijma yaitu
1.
Syarat
pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah kesamaan
pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan, perkataan
atau perbuatan. Meyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi
bagi terlaksanya Ijma’
a.
Kesepakatan
itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’,
jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja sedangkan sebagian
kecil lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai bahwa kesepakatan
mayoritas mujtahid sebagai hujjah
b.
Kesepakatan
para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang
ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja.
c.
Kesepakatan
para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat
dilihat dalam perbuatan.
d.
Semua
mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri
asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya
sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau
bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam
kesepakatan menyeluruh.[4]
2.
Syarat
kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi
seorang untuk menjadi mujtahid yakni:
a.
Memiliki
pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan yang telah menjadi
obyek Ijma’ sebelumnya
b.
Mengetahui
pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh
c.
Memiliki
pengetahuan kebahasaan (Arab)
3.
Syarat
ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad,
bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu
4.
Ijma’
mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw
5.
Ijma’
itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, seperti
wajib, haram, sunnat dan seterusnya.[5]
C.
Macam-macam Ijma
1.
Ijmak
Sharih atau ijma Qouli yaitu apabila segenap mujtahid berhimpun pada satu
kesepakatan pendapat dan masing-masing mennyatakan dengan pernyataan lisan;
“ini halal” atau “ini haram”. Ijma’ seperti ini menjadi hujjah tanpa ada
perdebatan.
2.
Ijma
Sukuti adalah apabila suatu pendapat menjadi mashyur di sebagian kelompok
mujtahid; sedang sebagian lain diam tanpa mengingkarinya.[6]
Para
ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma’ Sukuti sebagai hujjah mempunyai
kekuatan mengikat untuk seluruh umat.
a.
Imam
Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma’ Sukuti itu bukan ijma’ yang
dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat
b.
Abu
Ali ibn Hurairah (ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa pendapat yang dikemukakan
dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau penetapan
putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang
mennyanggahnya, maka diammya ulama itu tidak dapat disebut ijma’.[7]
c.
Dari pembahasan al-Ghazzali muncul persoalan bahwa, jika sebagian
sahabat berfatwa, sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya),
maka hal itu tidak disebut ijma‘ (sukuti). Dan
tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan ucapan (fatwa). Menurut
sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang mujtahid (sahabat)
telah tersiar luas, sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam mereka sama
seperti telah mengeluarkan fatwa yang sama, sehingga kejadian seperti itu
disebut juga dengan ijma‘ (ijma‘ sukuti).
Menurut sekelompok ulama lain, hal itu hanya menjadi hujah (sumber hukum) saja,
tetapi tidak dapat dikatakan ijma‘. Menurut sekelompok ulama
lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan bukan ijma‘ tetapi
hanya sebagai dalil yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum[8]
D.
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah qath’i (pasti), wajib diamalkan
dan tidak boleh mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap
kafir. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’
menurut para ahli ushul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama
generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum
syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga dalil syara’ setelah Al-Quran
dan Sunnah.
Menurut Ibrahim ibn Siyar al-Nazam (tokoh Mu’tazilah), ulama
Khawarij dan ulama Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah
karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari
berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul dan membahas suatu kasus, dan
menyepakati bersama. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai struktur
sosial, dan budaya yang berbeda.[9]
Bukti
kekuatan ijma sebagai hujjah antara lain
a.
Sebagaimana
Allah Swt. Dalam Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat
kepada Allah, Rosulnya dan Ulil Amri, seperti
Firman-Nya:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. (Qs. An-Nisa : 59)
Lafal Al-Amri artinya adalah hal
atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil Amri
pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada
masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ibnu Abbas menafsirkan kata
Ulil Amri dengan ulama, menafsirkan dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas
penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang
lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan hukum
syarak, yakni para mujtahid, maka wajib dan dilaksanakan berdasarkan nash
Al-Quran.
Menurut Ahmad al-Sawi, ayat di atas
secara menyeluruh mengisyaratkan kepada dalil-dalil fiqh yang empat, yakni
Alquran, Hadis, ijma‘ dan qiyas. Taat kepada Allah,
yakni Alquran, taat kepada Rasul, yaitu Hadis, dan taat kepada uli al-amr
adalah ijma‘ (ketetapan hukum yang sudah menjadi kesepakatan)[10]
b.
Pada
dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam
adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya
c.
Ijmak
atas hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid
Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya
tidak di dukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nashdan
makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat
nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik
dengan cara yang kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan
kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilandalil dari
dalil-dalil yang telah ditetapkan syara.[11]
E.
Landasan Ijma’
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa
dalil yang qath’i, yaitu Al-Quran, Sunnah serta bisa juga bisa berdasarkan
dalil Zhanni seperti hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau
tiga orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka
adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh
dengan istri. Landasan ijma’ ini, menurut mereka, adalah hadits ahad. Demikian
juga kesepakatan para sahabat menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti (khalifah)
Nabi saw. Dengan mengqiyaskannya kepada Nabi saw.
Ulama Zhahiriyyah Syi’ah dan Ibn Jarir al Thabari mengatakan bahwa
landasan ijma’ harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ dalil yang qath’i
yaitu suatu dalil yang qath’i tidak mungkin didasarkan kepada dalil yang zhanni
seperti hadits ahad dan qiyas, karena hasil dari yang zhanni akan tetap zhanni.
Disamping itu, seorang mujtahi boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang
didasarkan kepada qiyas. Apabila sandaran ijma’ tersebut adalah qiyas, maka
seorang mujtahid tidak boleh mengingkarinya.[12]
F.
Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Jumhur ulama
berpendapat bahwa ijma‘ mungkin dapat terlaksana dan memang telah
terjadi dalam kenyataan. Umpamanya, pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah
setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma‘. Demikian pula
haramnya lemak babi, berhaknya kakek atas seperenam harta warisan cucunya,
terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-lain hukum furu‘
sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fikih.[13]
Abdul Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya ijma’
terutama dalam masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma’ itu ditangani
oleh suatu negara dengan bekerja sama dengan negara-negara lain yang mayoritas
penduduknya beragama islam. Setiap negara menetapkan standar tertentu mengenai seseorang
dapat dinyatakan mencapai derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid
terhadap semua yang mencapai derajat itu sehingga dengan demikian semua
mujtahid didunia ini dapat diketahui.
Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi, dengan
apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf sangat mungkin terjadi, karena
meskipun mujtahid itu bertebaran diseluruh permukaan bumi dan mudah
mempertemukan mereka dalam suatu masa tertantu untuk membicarakan masalah hukum
atau setidaknya untuk menghimpun pendapat mereka. Bila pendapat mereka tentang
masalah suatu hukum telah terkumpul dan mempunyai pendapat sama, itulah yang
disebut ijma’.[14]
Menurut golongan mu’tazilah dan sebagian pengikut Syi’bah
mennyatakan bahwa ijma’ itu merupakan kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu
masa, maka hal tersebut tidak mungkin terjadi. Sebab, para mujtahid itu berada
dan tersebar di berbagai kawasan atau daerah yangjaraknya berjauhan serta tidak
mudah bagi mereka untuk berkumpul pada satu tempat untuk mennyatakn kesepakatan.[15]
G.
Perkembangan Pendapat Ulama tentangn Pembatasan Ijma’
1.
Keikutsertaan
kalangan awam dalam Ijma’
Terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau yang bukan mujtahid
diperhitungkan sebagai anggota ijma’, jumhur ulama berpendapat bahwa suara
orang awam tidak diperhitungkan unruk melaangsungkan suatu ijma’. Karena yang
berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang mampu memahami
sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya.
Sebagian kecil ulama mengatakan
bahwa suara orang awam menentukan dalam penetapan ijma’ karena pendapat umat
mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari kesalahan.
2.
Ijma’
sesudah masa Sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai
hal ini, apakah ijma’ itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku
sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatan bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan
hujjah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja,
tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi
ketentuannya.
3.
Kesepakatan
mayoritas
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak
sahnya ijma’ bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada
minoritas yang menentangnya.
4.
Kesepakatan
ulama madinah
Ulama madinah telah sepakat tentang
suatu hukum atau suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat
yang berbeda.
5.
Kesepakatan
Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama
syi’ah adalah keturunan nabi Muhammad melalui putrinya. Di kalangan ulama
syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas suatu hukum di
anggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain.
6.
Kesepakatan
Khulafaur rasyidin
Empat orang sahabat Nabi yng
kemudian bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat lainnya mempunyai
pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, mereka dianggap sebagai ijma’ yang
mengikat umat islam.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ijma’
yaitu kesepakatan yang harus dilakukan oleh seluruh mujtahid, bukan kesepakatan
sebagian, atau bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid,
seperti kesepakatan yang dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang belum
memenuhi syarat sebagai mujtahid. Dan dalam melakukan suatu ijma’ harus
diperhatikan dalam beberapa hal seperti syarat-syarat ijma’, mengetahui
macam-macam ijma’, kehujjahan ijma’, landasan ijma’ serta mengetahui
syarat-syarat sebagai seorang mujtahid Untuk mencapai kesejahteraan ataupun
kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul
Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih Cet 1. Jakarta: Logos.
Jafar, M. 2014. Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. Volume
XIII, No. 2.
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah
Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Nur, Iffatin. 2013. Terminologi Ushul Fiqih. Yogyakarta:
Teras.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Yusnani. 2012. Sistem Bisnis Franchise Dalam Pandangan Islam. Vol
7 No.2.
[1]
Iffatin Nur, Terminologi
Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 41
[3]Iffatin Nur, Terminologi
Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 41-43.
[4]M Jafar, Ijma
Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 96.
[5]Iffatin Nur, Terminologi
Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 44.
[7]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hlm. 136.
[8]M Jafar,
(Volume XIII, No. 2, Februari 2014),
hlm. 99.
[9]Nasrun Haoen,
Ushul Fiqih Cet 1, ( Jakarta: Logos, 1996), hlm.54.
[11]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Islam,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.57-58
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hlm. 117.
[15]Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras,
2013), hlm. 53.
[16]
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.
121-127.